Selasa, 16 April 2024

PEMBERDAYAAN SOSIAL EKONOMI JAMA’AH HAJI INDONESIA

 Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam

Vol. 5, No. 2, 2022
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
387
P-ISSN: 2088-7981
E-ISSN: 2685-1148
E-ISSN: 2685-1148


PEMBERDAYAAN SOSIAL EKONOMI JAMA’AH HAJI INDONESIA

LUTHFY RIJALUL FIKRI
Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Institut Agama Islam Sahid Bogor
E-mail: luthfyrijalulfikri@gmail.com

 ABSTRACT

As the country with the largest population of Muslims in the world, every year Indonesia sends hundreds of thousands of pilgrims to al-Haramain (Mecca and Medina) to perform the Hajj and Umrah pilgrimages. If the implementation of the pilgrimage began to intensify in the 16th century AD, until now, the Indonesian people have sent prospective pilgrims for more than four centuries, and this means that they have sent as many as 400 times, and if each pilgrimage season sends an average of 50,000 people , so currently the number of Indonesian hajj pilgrims has more than 100 million jama'ah. The number of pilgrims who are an extraordinary asset or capital, if empowered to the maximum, can bring progress to the people and nation of Indonesia. The hope of the pilgrims to achieve the title of hajj mabrur is actually not only to give meaning and benefits and blessings to those concerned, but also to give meaning, benefits and blessings to the people, nation, state, and even humanity in general. Likewise, the commitment of the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia in organizing pilgrimages that are safe, comfortable, orderly, and in accordance with Islamic law, as well as the determination of the Indonesian Hajj Fraternity Association as stated in its vision and mission, can be realized, it will further strengthen the importance of empowering the potential of pilgrims maximally. The implementation of empowering the pilgrims in order to provide benefits, blessings and kindness to the people, society, nation, state and humanity actually has a functional and substantial relationship with the implementation of the mabruran pilgrimage. By referring to the verses of the Qur'an, al-Hadith, the opinions of prominent Muslim scholars and scholars as well as observations, this paper seeks to analyze the characteristics of the mabrur pilgrimage in relation to the socio-economic empowerment of Indonesian pilgrims in particular, and Indonesian society. in general. This paper will first present a number of reasons for the importance of empowering the people's economy, and end by offering models of strategies for empowering the people's economy based on their strengths, weaknesses, opportunities and threats.

Keywords: social empowerment, economic, social empowerment of Indonesian pilgrims

ABSTRAK

Sebagai negara dengan populasi terbanyak umat Islamnya di dunia, setiap tahun Indonesia mengirim ratusan ribu jama’ah haji ke al-Haramain (Mekkah dan Madinah) untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Jika pelaksanaan ibadah haji mulai intensif pada abad ke-16 M, maka hingga saat ini, bangsa Indonesia, sudah lebih kurang empat abad mengirim calon jemaah haji, dan berarti telah mengirim sebanyak 400 kali, dan jika setiap musim haji rata-rata mengirim 50.000 orang, maka saat ini jumlah jama’ah haji Indonesia sudah lebih dari 100 juta jama’ah. Jumlah jama’ah haji yang merupakan asset atau modal yang luar biasa itu jika diberdayakan dengan maksimal, maka dapat membawa kemajuan bagi umat dan bangsa Indonesia. Harapan jama’ah haji untuk mencapai predikat haji mabrur sesungguhnya tidak hanya memberi arti dan manfaat serta keberkahan bagi yang bersangkutan, melainkan juga memberi arti, manfaat dan keberkahan bagi umat, bangsa, negara, bahkan kemanusiaan pada umumnya. Demikian pula komitmen Kementerian Agama Republik Indonesia dalam menyelenggarakan ibadah haji yang aman, nyaman, tertib, dan sesuai syariat Islam, serta tekad Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia sebagaimana tertuang dalam visi dan misinya, dapat diwujudkan, maka akan semakin memperkuat pentingnya memberdayakan potensi jama’ah haji secara maksimal.

Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam

Pelaksanaan pemberdayaan jama’ah haji dalam rangka memberi manfaat, keberkahan dan kebaikan bagi umat, masyarakat, bangsa, negara dan kemanusiaan sesungguhnya memiliki hubungan fungsional dan substansial dengan pelaksanaan kemabruran ibadah haji. Dengan merujuk ayat-ayat al-Qur’an, al-Hadis, pendapat para ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka serta hasil pengamatan, makalah ini berupaya menganalisis karakteristik haji mabrur dalam hubungannya dengan pemberdayaan sosial ekonomi jama’ah haji Indonesia pada khususnya, dan masyakat Indonesia pada umumnya. Tulisan ini terlebih dahulu akan mengemukakan sejumlah alasan tentang pentingnya memberdayakan ekonomi umat, dan diakhiri dengan menawarkan model-model strategi pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki.

Kata Kunci: pemberdayaan sosial, ekonomi, dan jamaah haji Indonesia

I. PENDAHULUAN

    Terdapat sejumlah alasan tentang perlunya pemberdayaan sosial ekonomi jama’ah haji Indonesia, di antaranya sebagai berikut:

    Pertama, bahwa saat ini bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia, baru saja terkena serangan Pandemi Covid 19 yang memiliki dampak luas dan dahsyat dalam kehidupan. Demi menjaga keselatan jiwa (hifdz al-nafs) pemerintah terpaksa harus menghentikan kerumunan dan pergerakan masyarakat agar tidak terjadi penularan Covid 19 yang membahayakan. Untuk itu, semua sektor kehidupan yang mengandung kerumunan dan pergerakan, seperti para pekerja di pabrik, para pedagang di pasar, para penumpang di kendaraan, pesawat dan lainnya, para jama’ah masjid, majelis ta’lim dan sebagainya harus dihentikan. Akibatnya mereka kehilangan penghasilan, menjadi pengangguran, harus diberikan bantuan, dan sebagainya. Keadaan masyarakat yang demikian, harus diatasi bersama, tidak hanya oleh Pemerintah, melainkan juga oleh masyarakat yang tergolong memiliki kemampuan. Jama’ah haji sebagai bagian dari masyarakat yang kemampuan ekonominya di atas rata-rata termasuk kelompok yang dapat didorong untuk ikut mengatasi masalah ini sebagai bagian dari panggilan melaksanakan kemabruran haji.

    Kedua, bahwa jamaa’ah haji yang demikian besar jumlahnya itu, walaupun belum diketahui dengan pasti potensi ekonominya dalam berbagai bidang: perindustrian, perdagangan, kuliner, pertanian, peternakan, transportasi, kerajinan, hiburan, usaha di bidang jasa: dakwah, pendidikan, pelayanan konsultasi, dan lain sebagainya, namun diperkirakan potensi ini cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai kegiatan usaha tersebut yang banyak dilaksanakan oleh mereka yang sudah mengerjakan ibadah haji yang menginginkan memperoleh predikat haji mabrur.

    Ketiga, secara normatif, historis dan empiris bangsa Indonesia umumnya, dan umat Islam pada khususnya termasuk masyarakat yang sudah akrab dengan kegiatan sosial ekonomi. Sejak zaman kerajaan atau kesultanan Islam, seperti Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan, Kesulatanan Islam Cirebon, Kesultanan Islam Banten, Kesultanan Islam Demak dan lainnya sudah memiliki tradisi mengembangkan masyarakat dan berdagang yang amat maju. Dengan menggunakan jalur transportasi laut, mereka sudah dapat mengembangkan perdagangannya ke manca negara, seperti India, China, Filipina, Thailand dan sebagainya. Mereka sudah mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi, hingga kalau ada barang berharga di jalanan (luqathah) pun, seperti yang terjadi di Aceh waktu itu, tidak ada yang memungutnya. Mereka juga berhasil menciptakan mata uang sendiri, dan dari kemakmurannya ini mereka dapat melaksanakan ibadah haji, dan setelah pulang mereka mendirikan lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan dan sebagainya.

    Pengalaman historis empiris yang dipicu oleh dorongan dan etos kerja ajaran Islam ini selanjunya muncul dalam bentuk organisasi Syarikat Dagang Islam (SDI), Syarikat Islam dan lain sebagainya. Namun dalam perjalanannya karena pengaruh monopoli kolonial Belanda, serta adanya konflik internal dalam tubuh organisasi umat Islam tersebut, menyebabkan kegiatan ekonomi umat mengalami kemunduran yang hingga saat ini belum bangkit lagi. Kini saatnya melalui pendekatan pelaksanaan haji mabrur kiranya upaya pemberdayakan bidang sosial ekonomi umat perlu dibangkitkan lagi dengan konsep, sistem, prinsip dan model yang harus lebih baik dibanding sebelumnya, mengingat tantangan dan peluang yang dihadapi dalam bidang usaha saat ini sudah jauh berbeda dibandingkan dengan tantangan dan peluang di masa lalu.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Posisi Ibadah Haji dalam Syari’at Islam

    Melaksanakan haji dan umrah adalah termasuk salah satu pelaksanaan rukun Islam yang lima, dan termasuk pula bagian dari ibadah mahdhah. Yaitu ibadah yang tata cara dalam melaksanakan dan lainnya sudah diatur oleh syari’at Islam, dan manusia tinggal melaksanakanannya saja. Di samping memiliki persamaan dari segi tujuan akhirnya, yakni ibadah kepada Allah SWT, berbagai ibadah dalam Islam memiliki segi perbedaan dan keistimewaan antara satu dan lainnya. Berbeda dengan ibadah mahdhah lainnya, ibadah haji termasuk yang paling mendapatkan perhatian yang besar dari Allah, Rasul, para ulama dan lainnya. Jika ibadah puasa Ramadhan hanya diatur dalam surat al-Baqarah, 2 ayat 183-187 (5 ayat), serta beberapa hadis, demikian pula dengan shalat dan zakat, maka ibadah haji terdapat dalam beberapa surat dan ratusan ayat, bahkan ada surat ke-22, bernama surat al-Hajji (77 ayat), dan terdapat pula surat yang mengambil nama penyempurna pembangunan Ka’bah, yakni Surat Ibrahim, (52 ayat) dan juga surat yang menggunakan nama yang melanjutkan syari’at ibadah haji, yakni surat Muhammad, surat ke-47 (38 ayat). Sementara surat yang namanya surat shalat, surat zakat tidak ada. Selain itu Allah SWT menjaga kesalamatan Ka’bah, sebagaimana terlihat dari hukuman yang Allah SWT :1-5 berikan kepada Pasukan Gajah yang dipimpin oleh Abrahah yang dihancurkan Allah bagaikan daun yang dimakan ulat (Q.S. al-Fiil, 105:1-5). Demikian pula perhatian Nabi Muhammad SAW terhadap haji juga amat besar. Hal ini antara lain ditandai dengan direbutnya kembali Ka’bah, Masjidil Haram dan Mekkah, agar umat Islam dapat melaksanakan ibadah haji dengan tenang. Dan sebelum akhir hayatnya Nabi juga menyelenggarakan perpisahan dengan pengikutnya dengan memanfaatkan momentum Haji Wada’. Demikian pula para ulama fikih pada umumnya membahas tentang haji, bahkan ada seorang Ulama bernama al-Nawawy (bukan Nawawai al-Bantani), menulis buku judulnya al-Idhaah fi Manasik al-Hajji (Penjelasan tentang Manasik Haji). Dari penulusuran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam berbagai surat dan ayat dijumpai bahwa di dalam al-Qur’an dijumpai berbagai aspek tentang haji dengan amat lengkap.

    Pertama dari segi tujuannya, yakni ikhlas semata-mata karena Allah (lillah) yang diulang secara eksplisit, sebanyak 2 kali, yakni wa atimmu al-hajj wa al-umrata lillahi (Q.S. al-Baqarah, 2:196), dan wa lillahi ala al-naas hijj al-bait (Q.S. Ali Imran, 3:97). Kedua ayat tersebut ditafsirkan oleh Ahmad Mushthafa al-Maraghy sebagai berikut.

    Ai wa ‘tu bi al-hajji wa ulmrati taammin kaamilin, dhaahiran bi adaai al-manasik ala wajhiha, baathinan bi ikhlash lillahi ta’ala duuna al-kasbi wa al-tijaarah wa al-riyaa wa al-samhah: Yakni tunaikanlah ibadah haji dan umrah dengan sempurna dan lengkap, secara lahiriyah dengan menunaikan manasik haji semata-mata atas anjuran-Nya, sedangkan secara batin dengan ikhlas karena Allah Ta’ala, tanpa disertai tujuan mencari nafkah, perdagangan, pamer atau mendapatkan keuntungan. Namun di luar ibadah haji dianjurkan mengembangkan dakwah sambil mengembangkan ekonomi dan perdagangan.

    Selanjutnya Ahmad Mushthada al-Maraghy ketika menafsirkan ayat 97 surat ali-Imran, 3:97 yang berbunyi: Wa lillahi ala al-naasi hiijju al-baiti man istatha’a ilaihi sabilan, mengatakan: Yakni wajib melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu dari umatnya, untuk memuliakan baitullah, dan manusia sejak zaman Nabi Ibrahim hingga zaman Nabi Muhammad yang berhaji ke baitullah, mengerjakan sunnah Nabi Ibrahim. Hal ini terus berlangsung setahap demi setahap, tanpa disertai kemusyrikan dan peribadatan pada berhala dan patung.

    Diketahui bahwa ibadah apapun dalam Islam, seperti shalat, puasa dan zakat harus dikerjakan dengan ikhlas, namun perintah ikhlas dalam ibadah lainnya itu tidak dieksplisitkan sebagaimana ibadah haji. Adanya penegasan lillahi ta’ala demikian kuat, hingga dua kali, mengingat ibadah haji termasuk ibadah yang berat. Selain membutuhkan biaya yang besar, daya tahan tubuh (fisik) dan kesehatan yang prima, juga mengharuskan daya tahan mental, rohaniah, dan sosial yang tinggi. Dengan adanya motivasi yang kuat itu, yakni karena memenuhi panggilan Allah, menjadi tamu Allah (dhuyufullah) akan terasa ringan.

    Kedua, dari segi waktunya, ibadah haji hanya pada waktu dan bulan yang ditentukan yang dikenal dengan asyhurum ma’lumat, yakni bulan Syawal, bulan Dzulqaidah dan bulan Haji (Lihat Q.al-Baqarah, 2:197), dan disebut pula dengan istilah al-ahillah (bulan sabit) yaitu waktu yang menunjukkan waktu bagi manusia dan (ibadah haji), yang puncaknya tanggal 9, 10, 11, 12, 13 bulan Dzulhijjah, bulan Tsabit/al-Hilan (Bulan Purnama). (Q.S.al-Baqarah, 2:189).

    Ketiga, dari segi persyaratan orang yang mengerjakannya, yaitu orang Muslim/Muslimah yang sudah dewasa, merdeka, sadar, dan memiliki kemampuan finansial yang cukup, fisik (jasmaniah-badaniah) yang sehat, sehat mental, rohani dan sosial, (Q.S. al-Baqarah, 2:196, dan Ali ‘Imran, 3:97) sebagaimana telah dijelaskan di atas.

    Keempat dari segi tempatnya, yakni di beberapa tempat yang ditentukan, yaitu Ka’bah, Padang Arafah, Mudzdalifah, Mina, dan sekitarnya untuk melakukan ziarah. (Q.S. Ali ‘Imran, 3:96). Pemilihan tempat-tempat ini karena mengandung sejarah yang terkait dengan nafak tilas Nabi Adam as beserta istrinya Siti Hawa dan keturunannya; Nabi Ibrahim dan keturunannya, serta Nabi Muhammad SAW dengan keturunanya.

    Kelima, dari segi tata cara pelaksanaanya, yakni manasiknya seperti tata cara ihram, wukuf, melontar jumrah, thawaf, sa’i dan tahalulul sudah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis. Allah berfirman: Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji (manasik) naka berzikirlan kepada Allah (Q.S. al-Baqarah, 2:200). Tata cara mengerjakan ibadah haji (manasik) tersebut dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dengan sempurna, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah, (2) ayat 124-127). Manasik ini secara fisik seperti kegiatan berkemping atau melakukan permainan, namun jika dianalisa dengan seksama mengandung pesan ajaran yang amat dalam, luas dan komprehensif, yakni terkait dengan kesederhanaan hidup, serta kesederajatan dengan oran lain (mengenakan pakaian ihram serba putih), menumbhkan nilai-nilai etos kerja dan kepatuhan pada aturan hidup yang lurus (thawaf), kesadaran, kearifan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan (wukup di Padang Arafah), kerelaan untuk melawan bujukan syetan dan membuang sifat-sifat tercela (melontar jumrah); ketegaran dan pantang menyerah dalam membela keselamatan manusia (sa’i) dan memelihara kerapihan dan kebersihan (tahallul), serta kemauan untuk melanjutkan misi perjuangan Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan syuhada (kegiatan hikmah ziarah).

    Kegiatan ibadah haji dikenal dengan nama manasik haji. Para ulama telah dengan serius membahas masalah ini dengan merujuk pada al-Qur’an, al-Sunnah, pendapat para sahabat, dan para ulama terdahulu. Yang secara khusus membahas manasik haji adalah al-Imam Al-Rayyani Yahya bin Syaraf al-Nawawiy dengan Kitab al-Idhaah fi Manasik al-Hajji, yang antara lain membahas tentang rahasia haji, manfaat haji dunia akhirat, etika perjalanan haji, ihram, wukuf, mabit, melontar, thawaf, sai dan tahallul, serta berbagai masalah yang terkait. Hal yang terkait dengan manasik haji, khususnya yang tergolong rukun haji dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiy wa Adillahutuh, Juz III, (1984:121-184), yaitu Ihram, thawaf, sa’i, wukup. Selain itu ada yang termasuk wajib haji yang boleh diganti dengan dam’ jika tidak dikerjakan; yautu wukup di mudzdalifah, melontar jumrah di Mina, dan mencukur rambut.

    Keenam dari etika, yakni hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan (dilarang) yang dapat menyebabkan ibadah hajinya tidak sah, atau kehilangan nilai pahala dan kemabrurannya. Yakni larangan berbuat rafasy (jorok, pornografi yang mengundang birahi), larangan melakukan fusuq (pelanggaran dengan sengaja) serta jidal (pertengkaran). (Lihat Q.S. al-Baqarah, 2:197).

    Ketujuh, dari segi filosofinya adalah agar manusia mampu menangkap berbagai manfaat dan keutamaan yang terkandung di dalamnya. Allah SWT berfirman:

لِّ يَشۡهَدُواْ مَنََٰفِّعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱ ه للَِّّ فِّيٓ أَيهامٖ ه معۡلُومََٰتٍ عَلَىَٰ مَا رَزَقَهُم منۢ بَهِّيمَةِّ ٱلَۡۡنۡعََٰمِِّۖ ف كُلُواْ مِّنۡهَا وَأَطۡعِّمُواْ

ٱلۡبَآئِّسَ ٱلۡفَقِّيرَ

Artinya: Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang ditentukan. (Q.S. al-Hajj, 22:28).

    Allah SWT tidak menyebutkan secara eksplisit tentang manfaat atau keutamaan dalam ibadah haji tersebut. Namun dengan nalarnya yang tajam, serta berbagai perspektif yang digunakannya, manusia akan menemukan berbagai manfaat yang amat luas. Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islaamiy wa Adillatuhu Juz III (1984:11) mengatakan bahwa ibadah haji mengandung keutamaan yang bersifat individual dan sosial. Yang bersifat individual adalah menghapuskan dosa kecil, membersihkan jiwa dari maksiat, dan menurut sebagian pengikut Hanafiyah, ada yang mengatakan bahwa ibadah haji dapat menghapus dosa besar, meraih predikat haji mabrur yang mendapatkan balasan surga, membersihkan jiwa, membiasakan berjiwa bersih dan ikhlas, memperbaharui kehidupan, mengangkat arti kemanusiaan, memperkuat cita-cita dan memperbaiki sikap baik sangka kepada Allah, menguatkan iman, memperbaharui perjanjian dengan Tuhan, mendorong sikap taubat yang tulus dan lurus, mendidik jiwa, meningkatkan syiar Islam dan mengembangkan kelembutan, melatih sabar, siap menanggung penderitaan, mengetahui dan mematuhi aturan, meningkatkan rasa syukur atas nikmat harta, nikmat sehat, menumbuhkan jiwa pengabdian, dan rendah hati. Sedangkan manfaat yang bersifat sosial: tumbuhnya perkenalan dengan sesama umat yang berbeda-beda warna kulit, bahasa dan negaranya, kemungkinan terjadi tukar menukar kemanfaatan dari segi ekonomi, bermuzakarah (bermusyawarah dan tukar menukar pikiran) dalam urusan umat, tolong menolong dalam menjaga keamanan dari musuh. Dan inilah makna dari ayat tersebut (liyasyhadu mana’fialahum).

    Sedangkan Ahmad al-Jurjawiy dalam Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu, Juz I, (h.248-249) mengatakan, bahwa jika manusia mengetahui, bahwa sesungguhnya tidak ada cara yang paling menguntungkan dalam perdagangan dan tukar menukar manfaat antara sesama orang Islam, kecuali dalam kesempatan yang agung di musim haji, yang di dalamnya berkumpul para hujjaj dari setiap negara yang makmur, dan setiap negara akan dapat melakukan tukar menukar barang dagangannya antara satu negara dengan negara lain.

    Di samping berbagai mafaat yang sifatnya permanen ada pula manfaat yang bergantung kepada faktor eksternal yang sifatnya fluktuatif dan dinamis. Yakni terkadang ada dan terkadang hilang. Henri Chambert Lior dalam Naik Haji di Masa Silam (1482-1964) Jilid I (1482-1980) (2013:83-99) misalnya mengemukakan dampak dari haji berupa timbulnya para mukimin, sebagai ritus peralihan dan identitas. Lahirnya para mukimin di Mekkah, telah memunculkan komunitas Jawi yang jumlahnya hingga mencapai 5000 orang di tahun 1997. Di antara mereka ada yang menjadi ulama besar seperi Abdurrauf al-Sinkili dan Yusuf al-Makassari, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khaitib al-Minangkabawi. Orang-orang Jawi itu menjadi guru/ulama/syaikh dan murid di al-Haramain. Selain menjadi guru atau ulama besar, mereka juga menulis puluhan bahkan ratusan kitab. Kitab-kitab tersebut dibawa pulang untuk diajarkan di berbagai Pondok Pesantren di Indonesia hingga sekarang. Selain itu di antara mereka ada yang menjadi guru dan murid aliran tarekat, Yakni tarekat Syattariyah dan tarekat Qadiriyah serta enam tarekat lainnya, termasuk Khalwatiyah dan Naqsyabandiyah yang disebarkan Abdurrauf al-Singkili yang pernah berguru kepada Ahmad al-Qusyasy dan Ibrahim Kurani. Ia menyebarkan tarekat Sattariyah dan mengangkat khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan, dan Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan yang terus menyebarkan tarekat tersebut ke Sumatera Barat dan Pulau Jawa. Sedangkan Abdussamad al-Palimbangi adalah contoh ulama Nusantara yang menjadi cikal bakal sejarah tarekat Sammaniyah di Indonesia, tetapi tidak secara langsung, melainkan melalui muridnya. Demikian juga Ahmad Khatib Sambas, yang menciptakan tarekat Qadiriyah wa Naqayabandiyah dengan memadukan dua teknik tarekat tersebut menjadi satu. Tarekat baru itu mempunyai peranan penting dalam sejarah Indonesia, karena ikut menjiwai sejumlah pemberontakan populer mulai akhir abad ke-19. Tarekat baru ini disebarkan bukan oleh Ahmad Khatib dan atau muridnya Abdul Karim Banten, tetapi oleh murid dan khalifah Abdul Karim, bernama Haji Marzuki.

    Selain itu ibadah haji juga telah menimbulkan ritus peralihan, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Orang ibadah haji seolah-olah sedang merombak identitasnya. Yaitu perubahan status, perubahan rupa, pergantian nama dan persamaan ritus haji dengan kematian, Melepaskan jama’ah dari tanah air seperti melepaskan jenazah, diadakan upacara halal bihalal atau perpisahan dan pelepasan, menuliskan surat wasiat, meminta ma’af. Hal ini terkait dengan perjalanan ibadah haji dan penuh bahaya di lautan dan di daratan, seperti orang sedang menuju perjalanan di alam kubur, mengenakan kain ihram seperti mengenakan kain kapan, ketika sampai Mekkah seperti berjumpa dengan Allah untuk mendapatkan balasan pahala atau siksa; dan berkumpul di Arafah seperti berkumpul di padang mahsyar.

    Selanjutnya ibadah haji juga terkait dengan perubahan identitas. Ibadah haji menimbulkan perasaan persamaan dan perbedaanm. Yakni persamaan soladaritas dengan sesama muslim dari seluruh dunia, dan perbedaan dengan mereka semua bagi orang Jawi. Kesadaran ini selanjutnya menumbuhkan suatu identitas nasional, Ali Syari’ati (2005:207-210) menyebutkan ibadah haji sebagai musyawarah teologis dan ilmiah, konvensi sosial internasional, konvensi ilmiah, dan kolokium teologi.

    Berbagai manfaat ini sifatnya dinamis dan pluktuatif, tergantung pada manusia memanfaatkannya, dan perspektif yang digunakannya. Oleh sebab itu sebagaimana disebutkan Henri Chamber Lior dalam Naik Haji di Masa Silam (2013:99) bahwa, seorang penulis masa kini menyesal bahwa ibadah haji kini telah kehilangan “dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lainnya.” Kebanyakan mereka menganggap ibadah haji sebagai suatu ibadah mahdah, yang tidak mempunyai dimensi sosial, padahal mereka berada di Tanah Suci, di mana konferensi tahunan umat Islam dari segala bang satu diselenggarakan.

B. Karakteristik Haji Mabrur

    Dalam Pengantar buku Dinamika dan Perspektif Haji Indonesia (2012: v) Menteri Agama RI, Surya Dharma Ali mengatakan: sebagaimana diketahui, ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima, adalah puncak ibadah yang mengintegrasikan antara ibadah badaniah (fisik), maliyah (harta) dan ruhaniah. Oleh karena itu, setiba Jemaah haji yang mendambakan kemabruran ibadah hajinya perlu menyadari bahwa kesalehan individual dan kesalehan sosial harus terefleksi dalam kehidupan sehari-hari sejak dari persiapan ibadah haji dan telebih dalam rangka memelihara kemabruran haji.

    Dalam pandangan al-Qur’an al-Karim haji Mabrur sesungguhnya mengandung arti seorang haji yang memiliki komitmen dan tanggung jawab memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai universal. Di dalam kosakata mabrur selain terkandung orang yang memiliki komitmen keimanan (teologi yang kuat), juga solidaritas sosial, hubungan vertikal dengan Tuhan, kepedulian sosial, ketangguhan mental, integritas pribadi dan akhlak mulia. (Q.S. al-Bawarah, 2:177) juga menghimpun karakteristik keutamaan lainnya sebagaimana tehimpun dalam karakter al-Hasanat, al-khairat, al-Ma’ruf, al-fadlhu dan al-Afdhalu, al-Karimah, dan al-mahmudah.

    Kosakata al-Hasanat dalam al-Qur’an diulang sebanyal 163 kali dan mengacu kepada kebaikan yang berkaitan dengan pekerjaan profesional yang berbasis keilmuan, yakni pekerjaan yang berbasis pada Standar Operating Prosedur (SOP) seperti para dokter, arsitek, pengacara, akunting dan sebagainya. (Q.S. an-Nisa, 4, 69, al-Maidah, 5:93; al-Najm, 53:31; Ali ‘Imran, 3:14).

    Sedangkan kosakata al-khairat yang di dalam al-Qur’an diulang sebanyak 188 kali adalah suatu pekerjaan yang dilakukan di atas standar minimal, atau pekerjaan yang bermutu tinggi dan unggul, sehingga memuaskan pelanggan. (Q.S. al-Baqarah, 2:54; 103, 110, Ali ‘Imran, 3L110).

    Selanjutnya kosakata al-thayyibat yang di dalam al-Qur’an diulang sebanyak 50 kali dgunakan untuk menunjukkan berbagai macam perbuatan baik yang bersifat fisik, dan non fisik. Seperti makanan dan minuman yang lezat, atau bunyi suara yang merdu. (Q.S. al-Baqarah, 2:172, 267, dan al-Isra’, 17:70).

    Sementara itu al-ma’ruf yang di dalam al-Quran diulang sebanyak 41 kali mengandung arti kebaikan yang bersifat lokal atau yang selanjutnya dikenal dengan nama kata wisdom. (Q.S. al-Baqarah, 2:178; Ali ‘Imran, 3:104, al-Taubah, 9:122).

    Sedangkan al-fadlu dan al-afdhalu yang diulang dalam al-Qur’an sebanyak 104 kali menunjukkan kepada sesuatu yang istimewa, distingtif, unik dan tidak dimiliki oleh yang lain pada umumnya. (Q.S. al-Isra’, 17:70; al-Fath, 48:29).

    Selanjutnya al-karimah/al-karimah yang diulang di dalam al-Qur’an sebanyak 47 kali digunakan untuk memberikan apresiasi kepada manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya, dengan memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lainnnya. (Lihat Q.S. al-Isra’, 17:70; al-Hujurat, 49:13, dan al-Anfaal, 8:4).

    Sedangkan al-mahmudah disebutkan dalam al-Qur’sebanyak 68 kali dan digunakan untuk memuji kebesaran dan keagungan Allah atas nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga untuk manusia dan lainnya. (Q.S. al-An’am, 6:1; al-Isra’, 17:79; Huud, 11:73).

    Dengan demikian haji mabrur adalah haji yang memiliki komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai universal sebagaimana terhimpun pada kosakata al-hasanat, al-khair, al-thayyibah, al-karimah, al-hamdu, al-fadhilah dan al-ma’ruf. Semua kebaikan ini dibutuhkan sesuai kedaan waktu dan tempat.

    Pelaksanaan ibadah haji dalam upaya memperoleh kemabruran sebagaimana tersebut di atas telah dipraktikan dan dicontohkan kepada umatnya melalui pelaksanaan haji wada’.

    Menurut Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah (2005:606-607) bahwa pada hari Sabtu, empat hari sebelum habisnya bulan Dzul Qaidah tahun 10 Hijrah, beliau berkemas-kemas untuk berangkat melaksanakan haji Wada. Tanggal 8 Dzulhijjah hari Tarwiyah beliau pergi ke Mina, terus ke Arafah, di atas Unta yang bernama Qushwa, di hadapan 124.000 beliau menyampaikan khutbah yang isinya antara lain pamitan (kemungkinan tidak dapat berjumpa lagi), tidak mengotori darah, meninggalkan sifat dan akhlak jahiliyah, meninggalkan riba, perlindungan kepada kaum Wanita, berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad, perintah shalat, puasa Ramadhan, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji, setelah itu turun ayat surat al-Maidah (5) ayat 3, (81 hari sebelum wafat) yang artinya:

    Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan Aku telah ridha Islam sebagai agamamu.

    Menurut Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syaakir al-Khuubawiy dalam Durratu al-Naashihin fi al-Wa’dzi wa al-Irsyaad, (1955:56-57) diikuti dengan ayat-ayat al-Kalalah (orang yang tidak punya ahli waris) (Q.S.al-Nisa, 4:12); (50 hari sebelum wafat), ayat tentang penderitaan perjuangan Rasulullah SAW namun tetap cinta pada umatnya, yaitu Q.S. al-Taubah, 9:128 (35 hari sebelum wafat): dan ayat tentang pertanggung jawaban setiap orang di hadapan Allah SWT di hari Kiamat, (Q.S. al-Baqarah, 281 (21 hari sebelum wafat).

    Hal ini dijelaskan oleh Muhammad Munir dalam Islam in History (1999:43) bahwa pada akhir 10 Hijriyah (632 A.D) Nabi Muhammad melaksanakan ibadah haji terakhir di Makkah, dengan membawa rombongan diperkirakan antara 90.000 hingga 113.000 orang, dan dalam kesempatan itu nabi menjelaskan prinsip-prinsip pembentukan masyarakat Islam. Hal ini juga dijelaskan oleh Carl Brockelmann dalam bukunya History of the Islamic Peoples (1949:33) bahwa di penghujung tahun 100 hijriyah pada musim panas tahun 632 M, Nabi Muhammmad membawa para pengikutnya dalam jumlah besar untuk memperlihatkan kesuksesan perjuangannya atau semacam laporan kepada Tuhan. Husain Haikal dalam Hayatu Muhammad (1992:552-554), juga merekam tentang materi khutbah haji wada yang tidak hanya disampaikan di Arafah pada waktu wukuf tapi juga diulang pada saat Mabit di Mudzdalifah dan Mabit di Mina saat melaksanakan jamarat.

C. Haji Mabrur dan Pengembangan Sosial Ekonomi

    Agama Islam bukan hanya agama ilmiah yang menyebarkan beragam ilmu pengetahuan, tetapi juga agama yang membawa pencerahan pikiran dan hati nurani, kesejahteraan hidup dunia akhirat, penanaman iman, takwa dan akhlak mulia, dan merubah kehidupan ke arah yang mulia dan berakhlak mulia. Untuk itu umat mementingkan segi dakwah dan pendidikan dalam arti yang luas, karena melalui dakwah dan pendidikanlah pikiran dan hati nurani, kesejahteraan hidup dunia, penanaman iman, takwa dan akhlak mulia, dan merubah kehidupan ke arah yang mulia dan berakhlak mulia dapat dilakukan. Namun demikian, fakta sejarah menunjukkan bahwa kegiatan dakwah yang dilakukan para muballigh/da’i/da’iyah itu terintegrasi dengan berbagai kegiatan yang amat luas, termasuk dengan kegiatan ekonomi perdagangan. Beberapa sumber sejarah banyak mengemukakan fakta adanya hubungan yang intens antara dakwah dan perdagangan, serta dakwah dan pendidikan yang dilakukan para jama’ah haji tamatan al-Haramain. Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (2012:2) mengemukakan pendapat R.K.H Abdullah bin Nuh yang meyakini bahwa datangnya agama Islam ke Asia Tenggara jauh lebih lama dari perkiraan abad k3e-13. Menurutnya, hubungan perdagangan dan perniagaan antara Indonesia dan sekitarnya dengan negeri Arab atau bangsa Arab, merupakan suatu jalinan hubungan sejarah yang telah terbentuk berabad-abad, jauh sebelum kahirnya Nabi Muhammad SAW. Bangsa Arab merupakan wirausahawan perantara antara Eropa dengan negara-negara Afrika, India, Asia Tenggara dan Timur jauh, yaitu Cina dan Jepang. Mereka tidak hanya memperdagangkan hasil tanah Arab saja, akan tetapi perdagangan mereka meliputi pula barang-barang yang mereka datangkan dari Afrika, India, dan sebagainya, berupa gading gajah, wangi-wangian, rempah-rempah, emas dan sebagainya. Besar kemungkinan bahwa Islam dibawa para wirausahawan Arab ke Asia Tenggara pada abad pertama dari Tarikh Hijriah atau abad ke-17 M. Hal ini menjadi lebih kuat, menurut T.W.Arnold dalam The Preaching of Islam, bahwa sejarah dakwah Islam pada abad ke-2 H, perdagangan dengan Thailand, Srilangka sudah seluruhnya di tangan bangsa Arab. Hal yang serupa diperkuat oleh Prof. Dr. B.H. Burger dan Prof. Dr. Mr. Prajudi dalam Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia.

    Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (2012:26) mengatakan: Dunia dikejutkan dengan turunnya wahyu Allah yang disampaikan Malaikat Jibril as kepada seorang yang berprofesi sebagai wirausahawan, Muhammad. Bangsa Arab yang tinggal di Jazirah Arab, artinya daratan yang dikelilingi oleh lautan. Namun, terhimpit oleh Samudra Sahara Pasir Kuning yang tandus, mencoba bangkit dengan wahyu ilahi menjadi bangsa yang mampu menguasai bahari kelautan. Dengan mengarungi Samudra dan melintasi benua, bangsa Arab membangun jalan laut niaga, guna meretas jalan ajaran Islam untuk didakwahkan. Gerakan sejarah Islam berputar sangat menakjubkan. Meluas hingga ke batas cakrawala dunia. Bukan gerakan dari istana ke istana, melainkan dari pasar ke pasar. Para wirausahawan tidak hanya memasarkan komoditas barang dagangan, tetapi juga menjadikan pasar sebagai arena amal ajaran niaga Islam. Menumbangkan ajaran politeisme dan digantikan dengan ajaran tauhid. Pasar diperkirakan oleh sementara pihak hanya sebagai tempat memunuhi kebutuhan materi. Perkiraan semacam ini ternyata tidak benar. Pasar tidak hanya tempat jual beli barang, tetapi pula pertukaran bahasa, ekonomi, politik, ideologi, sosial, budaya, ketahanan dan pertahanan. Bahkan konversi agamapun berlangsung karena pengaruh pasar. Mengapa demikian? Karena Rasulullah SAW sebelum memperoleh wahyu Allah, semula sebagai wirausahawan. Ia telah menerapkan perdagangan yang berbasis pada memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan kepada pelanggan (to give services and satisfaction for all customers) dengan cara memberikan jasa pelayanan dan barang yang bermutu tinggi, perbaikan terus menerus, quality control, quality assurance, budaya unggul (great culture), dan hubungan yang baik dengan pelanggan, yang semua ini kemudian dijumpai pada gagasan Duran, Deming, dan Philip Crosby pada Total Quality Management (TQM) yang diterapkan di Jepang pada tahun 50-an, dan membawa Jepang sebagai negara maju dalam bidang ekonomi. Nabi Muhammad SAW seorang pedagang dengan manajemen modern. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (2012:34) tidak kurang dari 13 pasar yang pernah dikunjungi Nabi Muhammad SAW, yaitu 1) Pasar Dumatul Jandal di dekat Hijaz Utara yang berbatasan dengan Syria; pasar tahunan-bulan Rabiul Awwal, 2) Pasar Mushaqqar di Hijar, Bahrain-tahunan bulan Jumadil Awwal; 3) Pasar Suhar di Oman tahunan bulan Rajab, 4) Pasar Daba, menjual produk Cina, India dan lain-lain-tahunan-bulan Rajab; 5) Pasar Shihir dan Maharah, terletak antara Aden dengan Oman, tahunan Nisgfy Sya’ban, 6) Pasar Aden pada awal Ramadhan, komoditi dari Timur dan Selatan, 7) Pasar Shan’a Ibukota Yaman-akhir Ramadhan; 8) Pasar Rabiyah-Hadramaut, tahunan nisfu Sya’ban-Dzulqaidah; 9) Pasar Ukaz Nejaz Aas, akhir Dzulqaidah; 10) Dzul Majaz dekat Ukaz, 1 – 7 Dhulhijjah; 11) Mina lanjtan dari Ukaz bersamaan dengan waktu haji; 12) Pasar Nazat di Khaibar awal bulan hingga akhir bulan Muharram; dan 13) Pasar Hijr, di Yamamah, bersamaan dengan pasar Nazat, puluhan pertama hingga akhir Muharram. Di Pasar inilah Nabi Muhammad SAW melakukan transaksi dengan wirausahawan dari China dan India.

    Perdagangan atau usaha mencari nafkah adalah amaliah duniawi yang suci dengan niat melaksanakan perintah Allah SWT dalam rangka mencari nafkah untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita. Kegiatan ibadah haji dan dagang, dunia dan akhirat tidak boleh dipisahkankan atau didikhotomikan. Hasil pembinaan ibadah haji, berupa kesalehan sosial harus mendasari kegiatan ekonomi, dan hasil kegiatan ekonomi untuk mendukung kegiatan keagamaan. Tidak ada larangan membicarakan urusan perdagangan dan ekonomi di masjid atau tempat ibadah, karena mencari nafkah juga ibadah. Selesai melaksanakan shalat Ju’mat, seseorang harus kembali ke perniagaannya untuk mencari keutamaan, berkah dan rezeki dari Allah SWT. (Q.S. al-Jumu’ah, 62:10). Nabi Muhammad SAW pernah mengajarkan doa yang memiliki nilai etos kerja dan bangkit dari keterpurukan dengan pelakunya Abu Umamah yang terlibat hutang dan sedang pailit. Nabi mengajarkan doa kepadanya: Yaa Allah, aku berlindung diri (mohon dijauhkan) dari sifat al-hammu: ragu-ragu (diganti dengan yakin), al-hazanu pesimistis-berkecil hati) diganti dengan sifat optimistis; al-jubni (penakut dalam mengambil resiko diganti dengan sifat berani yang diperhitungkan; al-bukhli (kikir dalam menggunakan tenaga, pikiran) dan diganti dengan sifat sakha (dermawan); al-az’i:lemah kemauan harus diganti dengan sifat al-nasith: kuat kemauan; sifat ghalabatu al-dain:terlilit dengan hutang, diganti dengan sifat cermat dalam menggunakan modal; dan qahr al-rizal:diintimidasi atau dibeikot orang, diganti dengan memperbanyak relasi. Nabi Muhammad SAW pernah mencium dan mendoakan sahabat bernama Muhammad al-Amsar al-Anshary yang tidak ikut dalam suatu peperangan, karena dia mencari nafkah untuk keluarganya dengan menangkat dan membelah batu, hingga tangannya bengkak.

    Para jama’ah haji di seluruh Indonesia, sebagiann besarnya adalah bekerja di sektor non formal atau wirausaha dalam bentuk memproduk barang berupa bahan makanan dan minuman, beras, kacang-kacangan, sayur-mayur, buah-buahan, bahan bangunan, perikanan, peternakan, penggemukan dan pemerasan susu sapi, peternekanan telur bebek, bahan pakaian, pakaian jadi, atau bergerak dalam bidang jasa, seperti jasa di bidang transfortasi, dakwah, pendidikan (pimpinan Pondok Pesantren, pimpinan majelis ta’lim, bimbingan rohaniah (guru spiritual), pengelola penginapan, perhotelan, tempat ibadah dan sebagainya, kesehatan, penasehat hukum, dengan berbagai peran dan fungsinya yang beragam.

    Kehadiran mereka amat dibutuhkan sebagai penggerak dan pelopor dalam berbagai bidang usaha barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyarakat, ikut memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat. Namun demikian, berbagai potensi yang dimiliki dan digerakkan para haji tersebut pada umumnya belum ditetahui dan belum dipetakan dengan komprehensif valid dan akurat; belum diketahui dengan pasti usaha bidang apa saja yang sudah maju dan berkembang, yang berjalan biasa-biasanya, atau yang gulung tikar. Belum juga diketahui permasalahan yang dihadapi dalam menjalani usahanya: mulai dari penyediaan stock barang, bahan baku, proses produksi, tenaga dan ongkos kerja, permodalan, proses produksi, pengemasan, pemasaran, pengiriman dan lain sebagainya. Untuk itu di setiap kabupaten/kota, dan propinsi sudah waktu melakukan pemetaan terhadap potensi ekonomi para hujjaj dan sekaligus menawarkan solusinya bekerja sama dengan perbangkan Syari’at atau lembaga keuangan masyarakat, bantuan dari kalangan para pengusaha Muslim yang sukses dan berjiwa simpati dan empati kepada para pengusaha Muslim yang belum maju.

    Demikian pula sumber daya manusia yang ada di masyarakat, termasuk juga para pelajar di pondok pesantren (santri) dan madrasah (para siswa), kalangan mahasiswa dari perguruan tinggi Islam dan lainnya, yang jumlahnya bisa mencapai jutaan orang, hendaknya juga dilibatkan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan para haji sebagai penggerak utamanya. Berbagai jenis usaha sebagaiman tersebut di atas sapat diaplikasikan dengan menangkap semangat kewirausahaan yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW.

D. Strategi Pemberdayaan Haji Mabrur

    Agar ibadah haji dapat meraih predikat haji mabrur yang kriterianya tersebut di atas dan selanjutnyan memiliki dampak bagi pengembangan sosial ekonomi masyarakat, maka kata kuncinya adalah dengan memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan kepada para jama’ah haji (to give good services and satisfaction to all customers/the group of pilgrame), dan umrah dengan strategi atau kebijakan cerdas dan unggul sebagai berikut.

   Pertama, melaksanakan dengan sungguh-sungguh, penuh komitmen, tanggung jawab dan profesioanal terhadap peraturan perundangan tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang ditetapkan pada tanggal 26 April 2019, dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2019 Nomor 75 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly di Jakarta pada tanggal 29 April, 2019. Undang-undang yang terdiri dari 14 bab dan 132 pasal itu sudah amat lengkap, antara lain mengatur hak dan kewajiban jama’ah, tugas dan tanggung jawab Menteri, Gubernur, Bupati/Wali kota, Tim Pemandu Haji Indonesia, Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI), Tim Kesehatan Haji Indonesia, Kelompok Bimbingan Manasik Haji dan Umrah (LBIH), Kepala Perwakilan RI untuk Kerajaan Saudi; Tim Pemandu Haji Daerah.

    Kedua, mensinergikan unit-unit atau pihak-pihak terkait yang mendukung pelaksanaaan ibadah haji mulai dari tim pengurusan dokumen perjalanan haji/Kantor Imigrasi, Tim Pemeriksa Kesehatan, Penyediaan kelengkapan jama’ah: pakaian, koper, identitas, buku manasik, transportasi, pemondokan, catering, dan sebagainya.

    Ketiga, semua tim atau unit harus bertekad untuk memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan dengan cara memberikan pelayanan jasa dan barang yang bermutu, cepat, tepat, aman, nyaman, tertib dan sesuai syariat Islam, perbaikan terus-menerus, quality control, quality assurance, budaya dan etos kerja yang tinggi dan profesional, menggunakan berkah teknologi digital dengan mengaktifkan Sistem Komputer Haji Terpadu (Siskohat), menampilan akhlak mulia: ikhas, sabar, pemaaf, senyum, ramah, santun, adil, bijak, dan manusiawi, serta menjalin hubungan yang ramah dan akrab dengan semua jama’ah.

    Keempat, dengan menerapkan manajemen yang berbasis pada sinergitas pada empat aspek utama, yaitu man, method, machine dan money. Man adalah sumber daya manusia yang unggul, terlatih, professional, dedikatif, komitmen, tanggung jawab, akhlak mulia, dan terus mengembangkan kompetensinya, serta kuantitasnya yang memadai dan proporsional. Method atau cara perlu terus diupayakan dan inovasi tentang berbagai metode, pendekatan dan sistem dalam memberikan pelayanan sesuai dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta harapan masyarakat. Machine juga harus terus dilengkapi dan ditangani oleh tenaga ahli dalam jumlah yang memadai. Sedangkan money harus mencukupi dan dikelola dengan prinsip Amanah, akuntabel, transparan, efisien dan tepat sasaran.

III. Penutup

    Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan catatan penutup sebagai berikut:

    Pertama, pada saat ini sosial ekonomi bangsa Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya baru saja mengalami keterpurukan akibat dampak Pandemi Covid 19 yang cukup lama (hampir du tahun). Jama’ah haji yang jumlahnya demikian besar memiliki potensi yang dapat didayagunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan sosial ekonomi masyarakat. Demikian pula pengalaman umat Islam dari sejak zaman kesultanan merupakan modal sosiologis empiris yang dapat digunakan, walaupuan tantangan dan peluangnya di samping berbeda juga mengandung persamaan, terutama yang berkaitan dengan peluang pemasaran.

    Kedua, bahwa posisi haji dan umrah dalam ajaran Islam amat istimewa dan dipentingkan. Selain mendapatkan perhatian dari Allah dan Rasul-Nya, juga mendapatkan perhatian dari para ulama, cendekiawan muslim pada umumnya dan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah khususnya. Berbagai aspek yang terkait dengan ibadah haji dan umrah, dari segi tujuan, tempat dan waktunya, dasar hukumnya, tata cara pelaksanaanya, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dikerjakan (etika dan tatakrama), sejarahnya, filosofinya, sanksi dan lainnya amatlah lengkap, dengan tujuan agar ibadah haji dapat dilaksanakan dengan hasilnya sebagai haji mabrur.

    Ketiga, bahwa dalam seluruh rangkaian manasik haji: ihram, wukuf, bermalam di Mudzdalifah, melontar jumrah di Mina, thawaf, sa’i dan tahallul mengandung pesan ajaran tentang moral, etika, akhlak mulia, kemanusiaan, persatuan, persaudaraan, dan perdamaian dunia. Selain itu predikat mabrur yang diharapkan lahir dari ibadah haji juga berkaitan dengan komitmen, tanggung jawab dan kemauan yang kuat untuk meneggakan nilai-nilai luhur yang universal, seperti nilai keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, kepedulian sosial, hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan manusia. Seorang haji mabrur adalah haji yang memiliki sikap al-hasanah, al-khairat, al-thayyibat, al-karimah, al-fadlu dan al-ma’ruf.

    Keempat, sifat dan karakter yang dimiliki seorang haji mabrur sebagaimana tersebut di atas, sangat relevan dan merupakan modal yang amat strategis untuk mengembangkan sosial ekonomi masyarakat. Di dalam predikat haji mabrur itu ada nilai kepedulian dan kepekaan sosial, komitmen dan tanggung jawab untuk berbagi tentang kebaikan dan keberkahan, etos dan budaya kerja yang unggul, dan sebagainya. Sikap-sikap yang demikian amat dibutuhkan dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat.

    Kelima, sehubungan dengan itu diperlukan adanya upaya yang sungguh-sungguh, konsepsional, penuh komitmen dan tanggung jawab yang tinggi untuk meningkatkan kualitas kemabruran jama’ah haji dengan melakukan hal-hal sebagai berikut. 1) Mena’ati peraturan perudangan ibadah haji, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang penyelengaraan Ibadah Haji dan Umarh; 2) Menerapkan manajemen mutu terpadu dengan memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan pada seluruh jama’ah, dengan melakukan perbaikan berkelanjutan, quality control, quality assurance, budaya dan etos kerja yang unggul, serta hubungan yang baik dengan jama’ah; 3)Memperkuat pada aspek man (Manusia), method (cara); machine (teknologi), dan money (Anggaran).

    Keenam, perlu adanya pemetaan potensi sosial ekonomi para jama’ah haji dan umrah di seluruh Indonesia secara komprehensif sebagai titik tolak bagi perumusan kebijakan dalam pengembangan sosial ekonomi jama’ah. Berbagai kegiatan sosial ekonomi jama’ah, seperti pemilik pondok pesantren, pemilik madrasah, pemilik majelis ta’lim, pemilik hotel, restoran, transporasi darat, jasa kontruksi, laut dan udara, tenaga guru, dosen, dai, muballigh dan sebagainya, serta mereka yang bergerak dalam bidang perdagangan, perindustrian, pertanian, peternakan, kerajinan, penggemukan sapi, nelayan, dan lain sebagainya perlu dipetakan dengan lengkap untuk digunakan sebagai dasar kebijakan pengembangan sosial ekonomi jama’ah. Untuk di antara para jama’ah haji yang memiliki kekuasaan sebagai pemerintah daerah (gubernur, bupati/Walikota, camat, lurah, RW/RT), para pemliki modal, para tenaga ahli, para pelatih, dan sebagainya dengan latar belakang dan identitas hajinya diharapkan ikut serta dalam gerakan pemberdayaan sosial ekonomi jama’ah haji.


Daftar Pustaka

Black, Jonathan, Sejarah Dunia Yang Disembunyikan, (terj.) Isma B. Soekato dan Adi Toha dari judul asli The Secret History of The World, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2015), cet. V.

Brockelmann, Carl, History of the Islamic Peoples, (London: Routledge & Kegan Paul Limited, 1949).

Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (terj.) Ali Audah dari judul asli Hayatu Muhammmad, (Jakarta:Litera AntarNusa,1992), cet. ke-XIII.

Al-Khubawiy, Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syaakir, Durratu al-Naashihin fi al-Wadzi wa al-Irsyaad, (Surabaya:Syirkah wa Mathba’ah Salim bin Said bin Nabhan wa Akhiihi Ahmad, 1374 H./1955. Cet. I.

Loir, Henri Chamber, Naik Haji di Masa Silam, 1482-1964 (Jakarta:KPG, EFEQ dan Perspustakaan Nasional RI, 2013).

Al-Maraghy, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maragy, Jilid I dan II, (Beirut: Dar al-Fikr, tp. th.)

Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyurrahman, Sirah Nabawiyah, (ter.) Kartur Suhardi, dari judul asli Ar Rahiq al-Makhtum Bahtsun fi al-Sirah al-Nabawiyyah ala Shahibina Afdhali al-Shalaati wa al-Salam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1414 H./1997 M.)

Munir, Muhammad, Islam in History, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1999), First Edition)

Nata, Abuddin, Menjadi Haji Mabrur Sepanjang Hayat, (Jakarta:IPHI, 2021).

Al-Nawawiy, Kitab al-Idhaah fi Manasik al-Hajji wa al-Umrah, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Anas bin Malik, 1417 H./1996 M.), Hl.

Rokhmad Ali, dkk. (Ed.), Danimika dan Perspektif Haji Indonesia, (Jakarta:Direktur Jenderal Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, 2010).

Saabiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, al-Juz Awwal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1297 H./1977 M.) cet. I.

Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah Buku yang akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah Indonesia, (Bandung:Salamadani, 2012 H./1433 H.), cet. V.

Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingg Abad XX, ( (terj.) H. Samson Rahman, dari judul asli al-Taarikh al-Islaamy, (Jakarta: Akbar, 2003).

Al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islaamiy wa Adillatuhu, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikri, 1404 H./1984 M.), cet. III.

Rabu, 13 Mei 2015

DALAM MASALAH ADA SOLUSI DAN ANUGERAH



 Oleh : Luthfy Rijalul Fikri

Masalah adalah sesuatu yang terkadang membuat kita tidak nyaman, menghalangi langkah kaki dalam melanjutkan hidup dan kehidupan, serta merusak keadaan yang kondusif menjadi kurang bersahabat. Kata yang terdiri dari tujuh huruf ini senantiasa ada dan menghampiri setiap individu manusia, tentunya dengan beragam masalah yang dihadapi. Satu hal yang kita jarang sadari adalah,

Minggu, 18 Mei 2014

Potret Wakil Rakyat

Ingar bingar Pemilu Legislatif (pileg) 2014 akhirnya sampai juga pada titik klimaks, yakni ditetapkannya 560 orang calon legislatif terpilih periode 2014-2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu pekan lalu. Selanjutnya, mereka yang terpilih ini akan mengucapkan sumpah jabatan pada 1 Oktober 2014.<!---more---!> Berdasarkan validasi akhir KPU, ke-560 caleg terpilih tersebut terdiri atas PDI Perjuangan 109 , Partai Golkar 91, Partai Gerindra 73, Partai Demokrat 61, Partai Amanat Nasional 49, Partai Kebangkitan Bangsa 47, Partai Keadilan Sejahtera 40, Partai Nasdem 35, dan Partai Hanura 16. Dua partai politik yang tidak berhasil menempatkan wakilnya di parlemen karena tak memenuhi ambang batas masuk parlemen atau parliamentary threshold 3,5 persen, yakni Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Selasa, 26 Februari 2013

National Publik Relations Campaign Proposal



By : Luthfy Rijalul Fikri
1.      PR Audiences:

Policy/Political
Local-State-Federal
Landowner/Lease Grantor
General Public (including non-rural population)
Tax Payer
Utility Rate Payer
Business Owner
Media
Academics
Students

2.      PR Strategy:
Create a national professional Public Relations (PR)campaign to effectively communicate with the selected audiences using targeted messages. Have a consistent, positive, national message. Be FOR something (e.g. Science), not AGAINST something (e.g. wind energy). Be proactive vs reactive.

Selasa, 19 Februari 2013

DI TEMUKANNYA INJIL ASLI DI TURKI






  Bismillahir-Rah maanir-Rahim ... Belum lama ini, pemerintah Turki mengumumkan tentang penemuan Kitab Injil Asli Barnabas, salah satu murid pertama Yesus (Isa Almasih).<!---more---!> Hal yang tentu saja mengejutkan banyak pihak, termasuk kubu Vatikan itu sendiri.Sebagaimana diberitakan oleh DailyMail, basijpress dan NationalTurk, bahwa Injil Barnabas asli tersebut ditemukan pada tahun 2000 lalu di Turki, namun ditutupi oleh pemerintah Turki selama lebih dari 12 tahun, dan baru sekarang di beberkan ke publik.Lembaran-lembaran kulit hewan itu ditulis dengan huruf Syriac dengan dialek bahasa Aram, bahasa yang sama seperti bahasa yang umum dipakai pada masa Yesus Isa Almasih. Pemerintah Turki menyakini bahwa kitab kulit hewan tersebut adalah Injil Barnabas orisinal.Hal yang menarik dari Kitab Injil Barnabas Asli asal Turki tersebut menyatakan bahwa YESUS TIDAK PERNAH DI SALIB, dan terdapatnya ayat-ayat yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang benar serta pengakuan tentang kehadiran Nabi Akhir Jaman, Muhammmad SAW. 
   Pengakuan itu terdapat pada bab 41 dari Kitab Barnabas yang ditemukan di Turki tersebut. Berikut ini terjemahannya :"Allah telah menyembunyikan diriNya sebagai Malaikat Agung Michael berlari mereka (Adam dan Hawa) dari surga, (dan) ketika Adam berbalik, ia melihat bahwa di atas pintu gerbang ke surga tertulis "La Ela ELA Allah, Mohamad Rasul Allah"Kitab yang masih menjadi perdebatan tersebut disebutkan kini disimpan di Justice Palace, Ankara, Turki dengan pengawalan ketat polisi bersenjata lengkap dan keamanan maksimum. Pihak Iran lewat Basij Press menyatakan bahwa apa yang tertulis di kitab Barnabas asli tersebut adalah bukti tentang kebenaran Islam, yang walau begitu ditanggapi oleh sinis dari berbagai pihak. Bahkan pihak Kristen lewat berbagai jamaatnya menyatakan bahwa Kitab Barnabas tersebut diragukan keotentikannya. 
   Namun walau begitu pihak Vatikan lebih arif dengan menyatakan telah mengajukan permohonan resmi ke pemerintah Turki untuk membaca dan menganalisa keaslian kitab kontroversial itu.